Friday, April 17, 2009

SUN LIGHT part 1

Prolog

Aku tidak akan pernah menyangka kematian yang begitu menyakitkan terjadi begitu saja didepanku. Seakan-akan tidak ada hal lain yang dapat kulakukan –dan memang tidak- aku menangis sekeras mungkin, menutup telingaku serapat mungkin, menutup mataku yang tidak berhenti mengeluarkan air mata dan menggretakkan gigiku sekeras mungkin. Seperti kegilaan aku bergidik merasakan cairan lengket yang mengenai tubuhku. ‘hentikan, tolong hentikan..’, kataku memohon tanpa berhenti meringkuk ngeri bahwa sebentar lagi benda itu akan melayang mengenai tubuhku.

Desingan benda berputar perlahan memudar. Sekarang aku bisa mendengar napasku yang terengah-engah dan tangisanku yang merengek. Aku tidak mau membuka mataku, aku tidak mau melihat darah dan daging yang terpotong-potong memburai di tubuhku. Apakah ini sudah berakhir? Kumohon iya, aku ingin pulang, aku ingin melihat matahari.

“hoooaaammmm...”

Cuaca yang mendadak cerah, sangat menggangguku pagi itu. Aku tidak suka matahari seperti ini, terlalu panas, terlalu sedikit oksigen, terlalu hangat untuk kulit tipisku. Hari ini adalah hari terakhirku bermalas-malasan dan meskipun aku benci melakukannya, besok adalah hari pertama masuk sekolah. Hari untuk sedini mungkin mengangkat pantat malasku dan melakukan rutinitas manusiaku. Lama sekali aku duduk untuk memutuskan apa yang akan aku lakukan hari ini. Aku berpikir untuk kembali tidur, tetapi buru-buru membatalkannya setelah sesaat kudengar ibuku berkoak dan membayangkan sebentar lagi ditendangnya aku dari tempat tidur untuk melakukan hal yang lebih tidak kusukai. Aku berpikir untuk menonton acara televisi kesukaanku seharian dirumah temanku, setelah kusadari bahwa sudah berbulan-bulan aku tidak menghampiri teman abadiku dan memandanginya seharian. Kakiku kram, punggungku pegal, dan pantatku berat. Aku berusaha keras bangkit dari tempat tidurku tanpa berteriak minta tolong pada ibuku. Menurutnya, tubuhku begitu karena aku tidak cukup bergerak sehingga aliran darahku kurang lancar –sebenarnya dia mengatakan tidak lancar- dan aku kurang vitamin D dalam sinar matahari. Oh, aku benci terpanggang matahari. Jadi tanpa bantuan tangan dan omelan ibuku, aku berjalan menahan kram di kakiku dan bergegas mandi.

“pagi mom!”, sapaku saat menuruni tangga dengan gemulai karena malasnya.

“oh, ini dia si penidur.. apakah tidurmu cukup, princess?!”

“yeah, cukup kalau benda bulat kekuningan itu tidak menyengat jendela kamarku yang sejuk.. dan itu karena tangan usilmu mom”, protesku panjang lebar.

“aku hanya memberimu sedikit sinar positif, dan oh! Kau ini apa sih, begitu takut dengan matahari..”

“aku spesial mom, aku tidak bisa berlama-lama menahan sinarnya..”

“okey! Aku mengerti alasanmu, pemalas.. sekarang habiskan sarapanmu dan antarkan masakan ini ke bibimu..”

“oh, mom.. aku..”

“dan aku tidak ingin dengar penolakan dari mulut manapun ketika aku memberi perintah”, katanya menyelaku. Sial.

Entah apa yang tadi kumakan karena aku begitu lapar. Kuhabiskan saja apa yang ada dihadapanku dan segera kubereskan tempat makanku setelah berdebat sebentar dengan ibuku mengenai rencananya weekend besok. Kukayuh sepedaku lebih cepat dibawah sinar matahari sialan itu, ingin cepat-cepat sampai dirumah bibi ami yang hidup sendiri dan selalu menyusahkanku ketika jam makan siang tiba. Kuantarkan begitu saja makanan buatan ibu ditangannya tanpa menghiraukan ocehannya mengenai krisis global dan ekonomi yang semakin susah. Rasanya semua perkataannya tentang keadaan perekonomian, krisis global, dan harga-harga barang yang tidak stabil hanyalah alasannya untuk menutup diri bahwa dia tidak dapat berbuat apapun. Yeah, salahkan saja pemerintah jika menggusurmu nanti, katakan kau sudah lebih baik daripada mereka semua. Kukatakan itu dengan senyum palsuku padanya, berharap dia tidak mendengarnya. Itu hanya lelucon kan?!

Lima menit seperti lima jam. Meskipun aku berada di terasnya, tapi tetap saja masih kurasakan sinar panas menyengat, dan hal itu sangat menyebalkan. Kukayuh kembali sepedaku dengan kecepatan lebih normal, kaki malasku yang mulai merasa pegal tidak bisa dibantah dengan pikiranku yang tersiksa karena memikirkan sinar-sinar yang terlalu banyak. Entah apa yang merasuki pikiranku, aku tidak membelokkan kemudiku kearah rumah, ada sesuatu yang menarik perhatianku di ujung jalan sebelah sana. Seandainya aku lebih bijak, aku tidak akan melakukannya di kemudian hari. Tapi toh kubelokkan juga sepedaku kearah jalan kecil di ujung jalan. Aku berhenti tepat didepan jalan kecil itu. Tidak ada yang istimewa, hanya jalan biasa, sunyi, teduh, dan sejuk. Teduh dan sejuk? Ditengah cuaca seperti ini? Yang benar saja. Aku tersenyum kecut sesaat, mencoba meyakinkan diriku sendiri bahwa tidak ada yang perlu ditakutkan. Udara ditempat itu sedikit berbeda, atau mungkin benar-benar berbeda. Aku tidak merasa berada ditempatku tumbuh, lingkunganku yang selama ini akrab dalam benakku. Angin ditempat itu tidak keras, hanya semilir angin biasa yang hanya dapat meniup rambut kakuku pelan, tetapi juga dingin. Dingin yang bisa membuatmu bergidik, dingin yang tidak bersahabat, dingin yang tidak berbau manis seperti salju musim dingin, tetapi dingin yang berbau antara mint dan obat-obatan. Jalan kecil itu berbelok disisi kirinya dan menunjukkan jalan yang lebih kecil. Tidak ada yang berubah dengan jalan yang satu ini, hanya lebih kecil. Aku menoleh kebelakang, takut-takut tidak melihat sinar panas dibelakangku. Titik sinar itu masih terlihat di ujung sana, terlihat lebih berpendar dan berwarna kuning langsat. Matahari sudah berjalan ke barat? Bagaimana bisa aku menghabiskan waktu selama itu ditempat ini? Itu berarti aku harus pulang, tapi aku ragu bisa menemukan jalan ini lagi. Tapi hari sudah hampir gelap, remang senja sudah terlihat dibelakang sana, meninggalkan berkas cahaya kecoklatan emas yang indah. Aku tidak pernah merasa hal yang indah hanya dengan melihat matahari berlalu, karena itulah yang kuinginkan sepanjang hari, melambaikan tangan pada sinarnya dan kembali pada tidurku yang tenang.

Rasa penasaranku kubunuh dengan bersepeda kembali kearah jalan yang bermandikan cahaya matahari sore. Sesuatu menyentuh tengkukku dengan lembut tapi juga mengejutkan. Aku menoleh tanpa memperlambat laju sepedaku, dan yang kulihat hanyalah sulur disisi jalan sebelah kanan, yang kukira tadi menyentuh tengkuk kurusku. Oh, syukurlah hanya sulur pohon. Aku berbalik pada jalan didepanku dan mulai terfokus kembali pada pedal sepedaku dan kakiku yang semakin menegang. Aku tidak pernah mengejar sisa-sisa matahari sebelumnya, dan hari ini kulakukan dengan kegilaan, berharap masih menemukan penglihatanku dalam remang-remang sebelum sempat kurasakan kegelapan merayap dibelakangku.

Kutembus persimpangan jalan tanpa menoleh kearah jalan besar yang sebelumnya kulalui dengan gerutuan, dan bergegas pulang tanpa berkompromi dengan kakiku yang sudah sebesar lobak india karena tegang dan sedikit kram. Sepeda malangku kulempar begitu saja disuatu tempat dihalaman rumah, yang sudah pasti bukan tempat sepeda yang lain tergeletak. Aku berjingkat menaiki tangga dua-dua dan segera berhambur masuk rumah.

BRAKK!

“hey semua!”. Wow, seluruh keluarga sedang menyiapkan makan malam. Aku masuk dengan terengah-engah kehabisan napas, dan dengan senang hati meletakkan pantatku yang ikut-ikutan menegang dimeja makan, tepat disebelah mulut cerewet adikku.

“wow, kau habiskan hampir seharian untuk bersepeda? Lihatlah kakimu itu, lakukanlah lain kali.. Haahahaha.. kau seperti menyeret kaki trol”, ejeknya.

“oh, diam kau !”, kataku sedikit membentak.

“aku hanya ingin makan dan mengembalikan tenagaku tanpa membuangnya lagi dengan berdebat dengan omong kosongmu”

“oh, benarkah? Kau tidak perlu menghematnya, karena kau selalu mengisi tenagamu dan tidak pernah menggunakannya.. dengar kataku? M e n g g u n a k a n n y a, bukan membuangnya..” , katanya sambil menjulurkan lidahnya kearahku.

“oh, come on.. kau sama sekali tidak lucu, kau tahu itu?”, balasku sambil memukulkan sendok makanku kearah kepalanya, gusar. Apa yang dia tahu mengenai apa pun tentang aku, dasar sok tahu. Aku bahkan tidak akan menceritakan pengalamanku hari ini padanya, membayangkan wajahnya yang menyebalkan mengatakan padaku bahwa hal kecil seperti itu bahkan sudah dialaminya sejak dia taman kanak-kanak.

Yeah, kuakui itu. Aku, Malory Irvy memang tidak seberani anak manapun disekolahku atau bahkan anak manapun yang sebayaku. Aku bahkan tidak cukup berani hanya untuk berlarian dibukit kecil didekat rumah nenek, saat adikku, Erick memanggilku Ma-troll-ry karena kakiku yang tidak pernah digerakkan menjadi sangat besar dan bergelambir. Aku berani melakukan apapun ditempat yang kering dan bersih, dan tidak jika berada dibukit basah dan licin. Apa jadinya jika kau terjatuh dengan pantatmu mendarat dibawahnya? Dan jika kau tidak dapat menarik apapun untuk berpegangan, kau akan meluncur sampai kebawah dengan lumpur dan rumput basah menghiasi punggung bajumu, kau harus mandi untuk membersihkannya. Aku ralat, mandi dengan air dingin. No, thank’s.

“mom, besok biar aku yang mengantarkan makan siang untuk bibi mai.. (aku mau kentang nya, tolong) dan kurasa aku akan menghabiskan waktuku bersamanya.. jadi bolehkah?”, tanyaku menawarkan diri. Seluruh ruangan memandangku.

“well, kau sehat mal?”

“tentu saja, mengapa kau bertanya seperti itu?”, kataku tidak memperhatikan pandangan matanya yang kebingungan.

“kau tidak perlu melakukannya jika kau tidak ingin”

“aku ingin dan tidak menolaknya, mom”, tegasku

“dia ingin menggemukkan kaki troll nya mom.. gemuk dan hitam, sempurna! Hahahaha..”, kata erick mengejekku. Lagi.

“yea, yea, yea, katakan saja apa yang membuatmu puas, mulut bebek.”, balasku.

“tentu saja, pengecut. Kendarai saja sepedamu itu sampai kau tidak bisa berjalan karenanya, dan tidak ada lelaki tampan suka padamu. Rasakan itu.”

Aku mencibir dan memutar kedua bola mataku, menunjukkan bahwa apa yang dikatakannya sama sekali tidak mempengaruhiku. Apapun itu, asalakan aku bisa menelusuri jalan misterius tersebut sekali lagi.

“dan mom, aku akan mengajak eowyn bersamaku. Aku rasa bibi mai perlu suasana yang berbeda sekali-kali, dan aku (hey, itu telur terakhirku, erick!) dan eowyn akan menemaninya.”

“lakukanlah sesukamu, mal. Kau tidak pernah berniat berjemur matahari sebelum ini, dan kurasa akan lebih baik jika kau lakukan saja rencanamu itu besok setelah kau selesaikan pekerjaan rumahmu. Ingat, aku tidak ingin dengar suara siapapun membangunkan aku ditengah malam untuk secangkir teh karena PR nya belum selesai. Kalian mengerti ladies and gentlement?!”, kata ibu yang lebih mirip peringatan daripada pertanyaan.

“okey, mom. Aku tidak pernah menunda pekerjaanku, kau tahu kan erick?”, tanya ku mengejek.

“ya itu benar, miss sok tahu. Aku terlalu pintar untuk mendapat PR, dan kau juga tahu kan mal?”, katanya membalasku.

“oh, erick. Aku sangat mencintaimu, kau adik paling menyebalkan di dunia! Akui saja kalau kau selalu menyontek PR mu di sekolah, itulah sebabnya kau bangun terlalu pagi untuk berangkat ke sekolah.”

“Malory Irvy!”, kata mom.

“Erick tidak bangun terlalu pagi, dan kau tidak bangun cukup siang, kau tahu itu? Kau seorang wanita, mal, bangunlah lebih pagi dan bereskan sesuatu dirumah ini. Kau sama seperti mendiang ayahmu, kalian pemalas.”

“Hahahaha... dengar itu, dasar pemalas. Bukan hanya tidak ada laki-laki yang akan suka padamu, mal, aku bahkan berani bertaruh sekalipun ada laki-laki yang mau jadi suamimu, tidak ada anak yang akan tahan menjadi anakmu. Bagus mom!”

“aku tidak membelamu, bocah. Lebih banyaklah diam dirumah juga.”

“what?! Kau ingin aku berubah menjadi kaki troll? Aku bahkan tidak tahan dengannya yang selalu tidur, aku tidak bisa membayangkan tangan dan kakiku menjadi bergelambir (seperti miliknya). Hyeeekkkzz! Itu mimpi burukku mom!”

“Hahahaha... gunakan otakmu, bro”

“bro? Kau memanggilku dengan panggilan sekeren itu? Kau dapat dari acara televisi ceko? Kuno sekali kau, kakakku sayang (oh, aku belum selesai makan, mom).”

“hentikan kalian berdua! Segera naik dan bersihkan diri kalian (sudahlah, erick), lalu segera tidur, besok hari pertama kalian masuk sekolah.”

Aku tidak mendengarkan lagi ocehan mereka sejak kubereskan piringku sendiri. Diluar sana angin berubah menjadi semakin besar, dan dari jendela dapur, sulur-sulur pohon yang mengingatkanku pada jalan aneh mulai mengetuk-ngetuk jendela dapur. Aku membayangkan sendiri perjalananku yang menyisakan sedikit rasa penasaran daripada rasa takut, waspada, dan suram.

next on sun light.....

No comments: